Commuting dan Kehidupan Rumah Tangga 

Halo, Keluarga Cerdas Indonesia! 

Kali ini kita akan membahas commuting. Sederhananya, commuting adalah kegiatan pulang-perginya seseorang dari satu kota ke kota asalnya untuk bekerja. Sebagai contoh, seseorang yang tinggal di kota Bogor harus melakukan perjalanan bulak-balik ke Jakarta setiap harinya untuk bekerja. Orang yang melakukan kegiatan commuting biasa disebut commuter atau penglaju.

Tren gaya hidup ini sangat populer di kota-kota besar seperti Jabodetabek. Data dari PT Kereta Commuter Indonesia (KCI/ KAI Commuter) mengungkapkan bahwa pengguna KRL sepanjang 2023 mennyentuh angka 290.890.677 pengguna. Rata-rata pegguna pada hari kerja sebanyak 870.782! Banyak sekali bukan?

Lalu, apa hubungannya commuting dengan kehidupan berumah tangga? 

Orang-orang yang sering melakukan perjalan ini biasanya harus berangkat sebelum matahari terbit dan kembali ke rumah ketika larut malam. Ini berarti, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk perjalanan dan bekerja daripada di rumah. Setibanya di rumah pun, mereka mungkin sudah kehabisan energi untuk berkomunikasi dengan keluarga. Tentu saja ini akan sangat mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga.

Penelitian yang dilakukan oleh Erika Sandow dari Umeå University di Swedia menunjukan bahwa pasangan yang melakukan commuting jarak jauh mempunyai kecenderungan 40% lebih besar untuk bercerai. Meskipun beberapa keluarga yang terpisah jarak jauh berhasil bertahan, terutama mereka yang memiliki anak kecil, sebagian besar lainnya adalah mereka yang berhasil beradaptasi dan telah melakukan perjalanan bolak-balik selama lebih dari lima tahun.

Selain masalah waktu komunikasi dengan keluarga, commuting dalam waktu lama dan terus menerus juga dapat menimbukan stres yang disebut dengan commuting stress. Ini terjadi ketika seseorang terus-menerus mengalami berbagai tantangan selama perjalanan, seperti kemacetan, transportasi umum yang penuh sesak, polusi, dan juga waktu perjalanan yang lama. 

Sebuah penelitian dari Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa waktu tambahan setelah satu jam dalam perjalanan commuting meningkatkan risiko stres pada penglaju di Jabodetabek. Stres ini bisa semakin meningkat apabila terjadi kemacetan parah atau adanya gangguan pada moda transportasi yang digunakan. Sebagai contoh, seorang penglaju yang mengguanak KRL Jabodetabek akan mengalami stres yang jauh lebih besar apabila kereta terlambat atau berhenti beroperasi tiba-tiba. 

Untungnya, mengambil keputusan untuk melakukan commuting tidak semuanya buruk. Ada beberapa alasan kuat yang bisa kita pertimbangkan untuk melakukan rutinitas ini. Alasan paling kuat adalah untuk mendapatkan peluang karir yang lebih baik. Penelitian Erika Sandow menunjukkan bahwa perjalanan bolak balik dapat membuka akses ke pekerjaan yang lebih baik, kesempatan karir yang lebih baik, dan pada akhirnya mendapatkan peningkatan penghasilan. Namun, keputusan untuk mejadi penglaju tetap harus direncanakan dengan matang agar tidak berdampak buruk pada kehidupan rumah tangga.

Dari dua penelitian tersebut, kita bisa simpulkan bahwa menjadi penglaju membutuhkan banyak persiapan dan perencanaan agar kehidupan rumah tangga tetap harmonis. Menurut Erika Sandow dari Umeå University, waktu paling rentan bagi pasangan yang melakukan commuting terjadi di setahun pertama mereka sebagai penglaju. Jadi, pastikan keputusan untuk menjadi penglaju direncanakan dengan matang bersama pasangan ya, Keluarga Cerdas!


Referensi